
https://www.antaranews.com
Pojok Kini – Menjelang akhir masa jabatannya sebagai Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell memberikan refleksi mendalam tentang respons Uni Eropa terhadap dua krisis besar yang saat ini menjadi sorotan dunia, yaitu konflik di Ukraina dan perang di Gaza. Dalam pernyataannya pada Jumat (29/11), Borrell mengakui adanya kritik terhadap sikap Uni Eropa yang dianggap menerapkan “standar ganda” dalam merespons kedua konflik tersebut, terutama oleh negara-negara di Global South.
Borrell, yang akan digantikan oleh Kaja Kallas, mantan Perdana Menteri Estonia, pada 1 Desember, mencatat bahwa Uni Eropa sering kali gagal menunjukkan konsistensi dalam kebijakan luar negerinya, khususnya dalam menangani situasi di Timur Tengah. Konflik di Gaza, yang dipicu oleh serangan lintas perbatasan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan serangan besar-besaran Israel sebagai tanggapannya, menjadi salah satu contoh di mana Uni Eropa tidak mampu berbicara dengan satu suara atau bertindak efektif.
Menurut Borrell, Uni Eropa tidak cukup berperan dalam mendorong gencatan senjata, pembebasan sandera, atau menegakkan hukum internasional di kawasan tersebut. Hal ini semakin memperkuat persepsi tentang ketidakkonsistenan Uni Eropa, yang juga dipengaruhi oleh peran beberapa negara anggotanya sebagai pemasok senjata ke Israel. Di sisi lain, Uni Eropa juga menjadi salah satu pemberi bantuan terbesar bagi rakyat Palestina melalui berbagai lembaga seperti UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) dan Otoritas Palestina.
Dalam hal hubungan dengan Israel, Uni Eropa tetap menjadi mitra penting dalam perdagangan, investasi, dan pertukaran sumber daya manusia, menciptakan kontradiksi antara komitmen mereka terhadap hak asasi manusia dan hubungan strategis dengan Israel. Perpecahan di antara negara-negara anggota, menurut Borrell, telah melemahkan kemampuan blok tersebut untuk memengaruhi jalannya konflik, meskipun jumlah korban jiwa terus meningkat.
Hingga saat ini, serangan Israel telah menyebabkan lebih dari 44.000 orang tewas, sebagian besar di antaranya perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 105.000 lainnya. Dalam konteks ini, Borrell mencatat bahwa komitmen Uni Eropa yang tegas dalam mendukung Ukraina sering kali dibandingkan dengan respons pasif terhadap Gaza. Ia menambahkan bahwa persepsi “standar ganda” ini telah menyebar luas di negara-negara Global South, di mana banyak yang menganggap Uni Eropa lebih menghargai nyawa warga Ukraina dibandingkan warga Palestina.
Borrell juga menyebut bahwa kritik terhadap Uni Eropa tidak hanya datang dari negara-negara Muslim, tetapi juga dari kawasan lain seperti Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara. Ia menyatakan keterkejutannya atas seberapa luas pandangan ini diterima di berbagai belahan dunia.
Di tengah situasi ini, upaya internasional untuk menuntut keadilan terus berlangsung. Pekan lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional akibat perang yang dilancarkannya di Gaza.
Pernyataan Borrell ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi Uni Eropa dalam menjaga konsistensi nilai-nilai yang mereka anut di tengah kompleksitas geopolitik dunia. Dengan kepemimpinan baru di bawah Kaja Kallas, banyak yang berharap Uni Eropa dapat memperkuat posisinya dalam mempromosikan perdamaian dan keadilan global secara lebih efektif dan konsisten.