
https://www.antaranews.com
Pojok Kini – Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho mengungkapkan bahwa langkah untuk menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah keputusan yang memerlukan keberanian politik besar. Menurutnya, kebijakan ini dapat memicu resistensi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh pembayaran bunga obligasi tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa jika pemerintah memiliki keberpihakan yang kuat kepada rakyat, langkah ini harus dilakukan.
Dalam keterangannya, Hardjuno menjelaskan bahwa BLBI adalah persoalan masa lalu yang seharusnya sudah selesai. Beban yang diakibatkan oleh kebijakan ini tidak seharusnya terus diwariskan kepada generasi mendatang. Menurutnya, jika pemerintah berani mengambil keputusan untuk menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI, akan ada ruang fiskal yang lebih besar untuk mendanai program pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.
Setiap tahunnya, sekitar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk membayar bunga obligasi rekap BLBI. Hardjuno menyoroti bahwa pembayaran ini seringkali hanya menguntungkan bank-bank besar yang kini telah meraih keuntungan signifikan. Kebijakan ini, menurutnya, sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan bangsa dan bahkan merugikan rakyat.
“Keputusan ini bukan sekadar soal angka,” tegas Hardjuno, “tetapi juga soal keberpihakan pemerintah. Apakah pemerintah akan terus mendukung warisan kebijakan lama yang sudah usang, ataukah akan mengutamakan kepentingan rakyat?”
Ia mengungkapkan bahwa jika pemerintah menghentikan pembayaran bunga obligasi ini, anggaran yang selama ini tersedot bisa dialihkan untuk keperluan yang lebih produktif. Hardjuno menyebutkan, dana sebesar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun per tahun dapat digunakan untuk mengurangi defisit anggaran negara tanpa harus menaikkan pajak atau mengurangi subsidi energi yang berdampak langsung pada masyarakat.
Langkah ini, menurut Hardjuno, tidak hanya akan mengurangi beban kas negara, tetapi juga memberikan kelegaan bagi rakyat yang selama ini sudah terbebani oleh kenaikan harga kebutuhan pokok dan inflasi. Ia menekankan bahwa alokasi dana sebesar itu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk subsidi energi atau program-program lain yang lebih menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
“Ini adalah momen untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Dana yang sebelumnya dialokasikan untuk bunga obligasi lebih baik digunakan untuk program-program pro-rakyat yang dapat memberikan manfaat nyata,” lanjutnya.
Hardjuno juga menekankan bahwa keputusan ini akan memiliki dampak signifikan dalam memperbaiki struktur anggaran negara. Dengan menghentikan pembayaran bunga obligasi BLBI, pemerintah dapat membebaskan anggaran dari beban yang sebenarnya tidak lagi relevan. Hal ini sekaligus memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk lebih fokus pada program-program pembangunan yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun, Hardjuno menyadari bahwa keputusan seperti ini bukan tanpa risiko. Resistensi dari pihak-pihak yang selama ini menikmati keuntungan dari kebijakan tersebut kemungkinan besar akan muncul. Meski demikian, ia percaya bahwa jika pemerintah benar-benar berkomitmen kepada rakyat, resistensi ini dapat diatasi.
“Dalam situasi seperti ini, keberanian politik sangat diperlukan. Pemerintah harus menunjukkan bahwa mereka berpihak kepada rakyat, bukan kepada kepentingan segelintir pihak yang sudah menikmati keuntungan besar dari kebijakan lama yang tidak relevan lagi,” tutup Hardjuno.
Langkah untuk menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI, jika diambil, akan menjadi simbol keberanian pemerintah dalam menghadapi warisan kebijakan masa lalu yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan bangsa. Lebih dari itu, keputusan ini dapat menjadi awal baru bagi anggaran negara yang lebih sehat dan fokus pada kepentingan rakyat.