
Pojok Kini – Pada Rabu malam (4/12), Majelis Nasional Prancis menggelar voting yang menghasilkan keputusan penting: Perdana Menteri (PM) Michel Barnier harus mengundurkan diri setelah mosi tidak percaya disetujui oleh mayoritas deputi. Mosi tersebut mendapat dukungan dari 331 deputi, sebagian besar dari aliansi partai sayap kiri New Popular Front (NFP) dan partai sayap kanan ekstrem National Rally (RN). Jumlah suara yang menyetujui mosi ini melebihi 289 suara yang dibutuhkan untuk meloloskan mosi tersebut, memaksa Barnier untuk segera menyerahkan pengunduran dirinya kepada Presiden Prancis, Emmanuel Macron, sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi Prancis. Pengunduran diri tersebut otomatis dianggap diterima, menandai berakhirnya kepemimpinan Barnier.
Sebelum voting berlangsung, Michel Barnier membela keputusan pemerintahannya untuk memaksakan pengesahan anggaran jaminan sosial tahun 2025, yang menjadi sumber ketegangan politik. Dalam pidatonya, Barnier menyatakan bahwa langkah tersebut diambil setelah mempertimbangkan berbagai masukan dan dialog, yang katanya, telah memperbaiki banyak aspek dalam naskah anggaran. Namun, Barnier juga menegaskan bahwa defisit fiskal yang semakin besar tidak bisa diabaikan begitu saja, dan keputusan untuk mengesahkan anggaran tersebut adalah demi memperbaiki kondisi ekonomi negara.
Meskipun begitu, sebagian besar anggota parlemen menilai langkah Barnier tidak cukup efektif untuk menangani masalah fiskal yang kian mendalam. Setelah mosi tidak percaya diterima, Marine Le Pen, mantan pemimpin partai sayap kanan ekstrem, mengungkapkan bahwa meskipun mosi tersebut berhasil, ia tidak akan menganggapnya sebagai “kemenangan”. Le Pen menyatakan bahwa keputusan tersebut lebih kepada upaya untuk melindungi negara dan menyebutkan bahwa “tidak ada solusi lain selain solusi ini.”
Setelah pengunduran diri Barnier, Presiden Macron segera menghadapi tantangan baru dalam membentuk pemerintahan yang dapat menyelesaikan masalah ekonomi yang semakin mendesak. Dengan kurang dari sebulan menjelang tenggat waktu untuk mencapai pemufakatan anggaran 2025, Prancis kembali berada dalam ketidakpastian politik yang bisa memperburuk kondisi ekonomi negara.
Menurut laporan dari saluran berita Prancis BFMTV, Macron dikabarkan akan segera menunjuk PM baru dalam waktu 24 jam untuk menghindari ketidakstabilan pemerintahan yang semakin parah. Langkah ini diambil karena Macron tidak ingin muncul di depan publik tanpa pemerintahan yang sah, terlebih lagi dengan acara penting yang melibatkan peresmian katedral Notre-Dame de Paris yang baru saja selesai dipugar.
Prancis saat ini menghadapi tantangan ekonomi yang cukup besar. Proyeksi dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Prancis akan melambat, dari 1,1 persen pada 2024 menjadi hanya 0,9 persen pada 2025. Jika anggaran tahun 2025 tidak disahkan, ketidakpastian politik yang melanda negara ini bisa memperburuk keadaan, dengan dampak langsung terhadap pendapatan pajak dan kemampuan pemerintah untuk menurunkan defisit fiskal yang diperkirakan akan meningkat menjadi 6,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024.
Dengan berakhirnya pemerintahan Barnier, Prancis menghadapi titik balik dalam mengatasi krisis fiskal dan politik yang sedang berlangsung. Proses pencarian pemimpin baru diharapkan bisa membawa stabilitas, namun, dengan tantangan ekonomi yang terus mengintai, tantangan terbesar bagi pemerintahan selanjutnya adalah mengembalikan kepercayaan publik dan mencapai solusi untuk mengatasi masalah defisit yang semakin membesar.