
https://www.antaranews.com
Pojok Kini – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan penting terkait penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), yang menyatakan bahwa proses tersebut harus tetap melibatkan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan ini merupakan respons terhadap uji materi yang diajukan oleh sejumlah serikat pekerja di sektor energi, yang merasa adanya ketidaksesuaian dalam perubahan regulasi yang ada.
MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh serikat pekerja yang tergabung dalam Perkara Nomor 39/PUU-XXI/2023. Dalam putusannya, MK menilai bahwa Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 Undang-Undang Cipta Kerja (UU 6/2023) yang menghapus kewajiban konsultasi dengan DPR terkait penyusunan RUKN bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin oleh UUD 1945.
Pasal yang menjadi sengketa tersebut sebelumnya telah mengubah ketentuan dalam UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, yang mengatur bahwa RUKN harus disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR. Namun, dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja, pasal tersebut menghilangkan kewajiban konsultasi tersebut, sehingga hanya pemerintah pusat yang memiliki kewenangan untuk menyusun dan menetapkan RUKN.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa meskipun pemerintah pusat diberikan kewenangan yang besar, keberadaan DPR sebagai lembaga legislatif tidak boleh diabaikan dalam hal penyusunan RUKN, yang merupakan bagian dari pengaturan negara atas salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Menurut MK, listrik adalah sektor vital yang harus dikelola negara dengan memperhatikan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, di mana rakyat berhak atas pengelolaan sumber daya penting ini.
“Sebagai bagian dari prinsip kedaulatan rakyat, rakyatlah yang seharusnya menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam negara. Oleh karena itu, keterlibatan DPR dalam penyusunan RUKN harus tetap dilakukan, meskipun hanya dalam bentuk pertimbangan,” ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Keputusan ini menjadi sorotan karena menunjukkan bahwa meskipun pemerintah pusat diberikan mandat yang lebih luas melalui UU Cipta Kerja, namun dalam hal-hal yang berkaitan dengan sektor strategis seperti ketenagalistrikan, DPR harus tetap dilibatkan, bukan hanya untuk memberikan persetujuan, tetapi sebagai pemberi pertimbangan.
MK juga menjelaskan bahwa penghapusan frasa “setelah berkonsultasi dengan DPR” dalam UU Cipta Kerja dapat menurunkan partisipasi legislatif dalam pengelolaan sumber daya alam yang vital, yang seharusnya tetap melibatkan elemen-elemen pemerintahan yang mewakili rakyat. Dalam hal ini, MK menyatakan bahwa keterlibatan DPR melalui pemberian pertimbangan adalah langkah yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses yang lebih panjang yang dibutuhkan untuk memperoleh persetujuan penuh dari DPR.
Dengan demikian, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 42 angka 5 UU Cipta Kerja yang tidak melibatkan DPR dalam penyusunan RUKN bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dimaknai ulang. Menurut MK, RUKN harus disusun oleh pemerintah pusat berdasarkan kebijakan energi nasional dan setelah mendapatkan pertimbangan dari DPR RI.
Keputusan ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara kewenangan pemerintah pusat dan peran DPR dalam mengatur sektor energi, serta memastikan bahwa kebijakan ketenagalistrikan tetap mencerminkan aspirasi rakyat melalui keterlibatan legislatif. Adapun permohonan uji materi ini diajukan oleh berbagai serikat pekerja yang bergerak di bidang energi, termasuk dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan beberapa federasi pekerja lainnya.
Dengan putusan ini, MK menegaskan kembali pentingnya pengawasan dan keterlibatan DPR dalam pengelolaan sektor-sektor yang menyangkut kehidupan banyak orang, terutama yang berhubungan dengan pengelolaan energi, yang merupakan salah satu sektor vital bagi keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosial di Indonesia.