
https://www.antaranews.com
Pojok Kini – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menyoroti pentingnya peran semua pihak dalam mengelola penggunaan antimikroba secara bijak demi menekan risiko resistansi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) di Indonesia. Kepala BPOM, Taruna Ikrar, mengungkapkan bahwa AMR menjadi salah satu ancaman besar bagi kesehatan masyarakat dunia dan berpotensi menghambat pembangunan global. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), resistansi antimikroba menyebabkan 1,27 juta kematian secara langsung di seluruh dunia pada 2019, dan berkontribusi terhadap 4,95 juta kematian lainnya.
Menurut Taruna, resistansi ini terjadi akibat penyalahgunaan antimikroba, terutama antibiotik, baik di fasilitas kesehatan maupun oleh masyarakat secara umum. Hasil pengawasan BPOM dari 2021 hingga 2023 menunjukkan bahwa sekitar 70-80 persen apotek di Indonesia masih menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter. Meskipun angka tersebut menunjukkan tren penurunan, penggunaan antibiotik tanpa pengawasan medis masih tergolong tinggi dan menjadi isu serius yang perlu ditangani.
Beberapa penyebab utama resistansi antimikroba antara lain penggunaan obat yang berlebihan atau tidak sesuai indikasi, kontaminasi lingkungan oleh obat-obatan, penularan di fasilitas kesehatan, dan kurangnya optimalisasi diagnostik cepat maupun vaksinasi. Selain itu, masalah obat palsu dan berkualitas rendah juga berkontribusi pada peningkatan kasus resistansi. Pola pengobatan mandiri yang tidak tepat oleh masyarakat, termasuk penyimpanan sisa obat yang kemudian dibuang sembarangan, juga turut memperburuk situasi.
Pada 2019, BPOM meluncurkan program “Ayo Buang Sampah Obat dengan Benar” (ABSO dengan Benar) di 15 provinsi, yang melibatkan 1.000 apotek untuk membantu masyarakat mengelola sampah obat. Dari program ini, ditemukan bahwa antibiotik menjadi salah satu jenis obat yang paling sering disalahgunakan dan akhirnya menjadi sampah. Fakta ini menunjukkan bahwa edukasi masyarakat tentang pengelolaan obat dan bahaya resistansi antimikroba masih perlu ditingkatkan.
Dampak resistansi antimikroba tidak hanya terbatas pada kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi. Infeksi yang sulit diobati, seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi saluran kemih akibat bakteri resistan, dapat memperpanjang durasi pengobatan dan meningkatkan biaya kesehatan. Hal ini mencakup biaya rumah sakit, perawatan intensif, serta obat-obatan tambahan. Selain itu, produktivitas kerja masyarakat juga menurun akibat meningkatnya angka kecacatan dan kematian yang terkait dengan AMR.
Sebagai langkah konkret, BPOM bersama pemangku kepentingan lainnya terus menggalang komitmen untuk memerangi resistansi antimikroba melalui program-program strategis. Salah satunya adalah implementasi Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistansi Antimikroba (RANPRA) 2020–2024, yang akan dilanjutkan dengan rencana aksi serupa untuk periode 2025–2029.
Komitmen tersebut ditandai dengan pengucapan Ikrar Komitmen Pengendalian Antimikroba, yang bahkan diakui oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai ikrar dengan partisipasi terbanyak. Taruna berharap ikrar ini tidak hanya menjadi formalitas, tetapi juga menjadi dorongan bagi semua pihak untuk aktif terlibat dalam upaya pengendalian AMR secara berkelanjutan.
Dalam jangka panjang, BPOM menargetkan pengurangan kasus resistansi antimikroba melalui pengawasan ketat, edukasi masyarakat, dan kolaborasi lintas sektor. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat mengendalikan ancaman resistansi antimikroba dan melindungi kesehatan masyarakat, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi di tengah tantangan global.