
Pojok Kini – Pada Senin (23/12), Bangladesh mengumumkan bahwa negara tersebut tidak akan mengizinkan lebih banyak anggota komunitas Rohingya untuk memasuki wilayahnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Penasihat Urusan Dalam Negeri Letnan Jenderal (purnawirawan) Jahangir Alam Chowdhury, yang menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi pengungsi Rohingya untuk memasuki Bangladesh dalam kondisi apa pun. Ia menambahkan bahwa lebih dari 60 ribu pengungsi Rohingya telah tiba di negara tersebut dalam dua tahun terakhir, mengklarifikasi pernyataan yang sebelumnya disampaikan oleh Penasihat Urusan Luar Negeri Md. Touhid Hossain.
Sebelumnya, Hossain mengungkapkan bahwa sekitar 60 ribu Rohingya telah memasuki Bangladesh dalam dua bulan terakhir. Namun, Chowdhury membantah klaim tersebut, menjelaskan bahwa jumlah tersebut merujuk pada periode satu setengah hingga dua tahun terakhir, bukan hanya dalam dua bulan terakhir. Klarifikasi ini penting karena informasi yang salah dapat memperburuk situasi yang sudah sangat kompleks di wilayah tersebut.
Perkembangan ini terjadi setelah pertemuan yang dilakukan oleh Hossain pada Minggu (22/12) di Dhaka, usai kunjungannya ke Thailand. Di Thailand, Hossain menghadiri pertemuan konsultasi informal yang melibatkan perwakilan dari Laos, Thailand, India, China, dan Myanmar. Salah satu isu utama yang dibahas adalah krisis Rohingya yang masih berlangsung dan terus mempengaruhi stabilitas kawasan. Chowdhury mengungkapkan bahwa meskipun ada komunikasi informal dengan Tentara Arakan, yang kini mengendalikan sebagian besar perbatasan Myanmar, tidak ada ruang untuk diskusi resmi yang dapat membantu mengatasi masalah ini dalam waktu dekat.
Saat ini, Bangladesh menampung lebih dari 1,2 juta pengungsi Rohingya di distrik Cox’s Bazar, yang terletak di tenggara negara tersebut. Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar pada Agustus 2017, ketika militer Myanmar melakukan tindakan keras terhadap komunitas Muslim Rohingya. Sejak saat itu, Bangladesh telah menjadi tempat perlindungan bagi jutaan pengungsi yang mengungsi untuk menyelamatkan diri dari genosida yang berlangsung di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Di sisi lain, puluhan organisasi Rohingya pada Senin (23/12) juga mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan “keadilan, kesetaraan, hidup berdampingan secara damai, dan pemerintahan yang inklusif” di negara bagian Rakhine. Konflik antara pasukan junta militer Myanmar dan pemberontak Tentara Arakan telah memanas dalam beberapa waktu terakhir. Dalam pernyataan tersebut, sekitar 28 organisasi Rohingya menyerukan kepada pemberontak Tentara Arakan yang kini menguasai kota Maungdaw dan Buthidaung di Rakhine utara, untuk menghormati hak-hak Rohingya serta semua minoritas etnis dan agama yang ada di negara bagian tersebut.
Ketegangan di negara bagian Rakhine semakin meningkat, dengan pasukan militer Myanmar berusaha menanggulangi pemberontakan yang dilakukan oleh Tentara Arakan. Namun, seruan dari organisasi Rohingya menunjukkan keinginan untuk menemukan solusi yang lebih damai, dengan menghormati hak-hak dasar setiap individu, termasuk hak untuk hidup dalam kedamaian tanpa ancaman kekerasan atau diskriminasi.
Krisis pengungsi Rohingya yang melibatkan Myanmar dan Bangladesh telah menjadi salah satu masalah kemanusiaan terbesar di Asia Selatan. Bangladesh, meskipun telah memberikan perlindungan bagi lebih dari satu juta pengungsi, menghadapi tantangan besar dalam menangani krisis ini. Selain itu, upaya diplomatik yang melibatkan negara-negara seperti Thailand dan Myanmar belum memberikan solusi yang memadai untuk mengatasi masalah tersebut.